Jakarta, Medialintaspublik.com
Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Bekasi Jawa Barat telah melakukan unjuk rasa di kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Jakarta pada Kamis (27/7/2023).
Para guru tersebut menyampaikan keluhannya terkait pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2023.
"Kami meminta agar PPDB online khususnya di Kota Bekasi dibenahi," ujar Wakil Ketua BMPS Kota Bekasi, Pudio Bayu.
Pudio menilai bahwa PPDB di Kota Bekasi tidak berjalan transparans. Lebih-lebih banyak penyelenggaraan di sekolah tidak sesuai petunjuk teknis.
"Tidak ada komitmen menjalankan PPDB dengan baik," ungkap Pudio.
Akibatnya, kata Podio, PPDB di Kota Bekasi merugikan sekolah-sekolah swasta. Siswa yang menjadi jatah sekolah swasta, dipaksa agar tetap masuk sekolah negeri.
"Kita lihat di zonasi ada siswa yang jarak rumahnya ke sekolah itu jauh, berkilo-kilometer. Itu kan harusnya enggak bisa," tegas Podio.
Pudio pun juga menyoroti tentang adanya ruang kelas siluman.
Diungkapkan oleh Pudio bahwa ada sekolah dengan kepentingan perorangan sengaja menambah kelas untuk menampung siswa.
"Kepentingan perorangan atau golongan akan merugikan kepada kualitas pendidikan karena terlalu banyak diintervensi, sehingga kegiatan belajar mengajar (KBM) itu akan sangat terpengaruh," tuturnya.
"Contohnya, misalkan satu kelas itu diisi oleh 45 orang lebih, padahal kapasitas yang diperbolehkan antara 32 sampai makaimal 36. Otomatis itu didalam pembelajaran, didalam KBM sangat terpengaruh terutama didalam penangkapan ilmunya, atau transfer ilmunya dari seorang guru pada seorang siswa, itu sangat berpengaruh sekali," urai Podio Bayu.
Intinya ada tiga tuntutan dari kami BMPS, kepada Kemendikbud Ristek;
"Pertama, kita menuntut untuk diadakannya evaluasi pelaksanaan tentang PPDB Online," tegas dr Asep Zamzam Subagia MM Ketua BMPS Kota Bekasi
"Kedua, kita menuntut untuk peraturan Kemendikbud Ristek dilaksanakan secara baik dan disinkronisasikan dengan aturan-aturan yang ada di daerah. Artinya jangan sampai terlalu jauh bertolak belakang," ujarnya.
"Kalau memang aturan dari Kemendikbud Ristek, satu Rombel itu 32, ya mungkin untuk peraturan di daerah itu seandainya memang harus lebih, tapi jangan berlebihan," harapnya.
"Karena kalau kita melihat kondisi sekarang ini, itu terlalu berlebihan, terlalu over load. Jadi aturan-aturan itu akhirnya bertabrakan," terangnya.
Sedangkan tuntutan yang ketiga, lanjut dr Asep dimohonkan untuk masalah pendidikan, bila perlu ditarik lagi ke pusat supaya tidak lagi terjadi intervensi-intervensi dari daerah.
"Kan kalau di pusat itu kan aman. Karena pendidikan ini tonggak untuk kemajuan suatu bangsa. Itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pendidikan baik, bangsa ini akan lebih baik secara hakekat. Dan martabatnya itu akan lebih baik lagi," pungkas dr. Asep . ( **** )